Disuruh jadi PNS malah jadi TKI

Di suatu sore yang lembab, ketika Bapak sedang asyik menghirup rokoknya sambil nawarin pisang goreng. Tiba-tiba ia bertanya.

"De kenapa nggak cari kerja di sini aja si"

"Jadi apa Pak? PNS?"

Gue tau kalau Bapak masih berharap anaknya ini mau kerja sebagai PNS di Indonesia. Karena PNS kan terjamin, nggak usah cari kerja lagi sampe pensiun, abis itu dapet uang pensiunan. Udah nggak usah pusing. Baiqlah. Gue ngerti mungkin Bapak hanya ingin yang terbaik buat putrinya, dan menurutnya yang terbaik adalah menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Dan syapa yang bisa menyalahkan Bapak. Jika memang orang tua sepantarannya masih saja menganggap bahwa kerja di Indonesia sebagai PNS adalah pekerjaan paling sukses yang harus digeluti setiap orang. Siapapun calon mertua pasti bangga punya menantu PNS, no?

Gue nggak pernah merasa ada yang salah dengan pekerjaan PNS atau pekerjaan kantoran. As long as orangnya happy dan enjoy ngejalaninnya then go for it. Actually cheers for you guys who chose this path. Bagi sebagian orang yang memang senang dengan hidup yang settle dan nggak suka hidup yang penuh tantangan dan dinamis, then it's the right choice for you.

Tapi bagaimana dengan gue dan orang-orang seperti gue? Orang-orang yang melihat hidup sebagai petualangan. Yang lebih suka bermain-main dengan imajinasinya dan bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya.

Orang-orang seperti kami pun setuju bahwa setiap orang harus menanggung hidupnya masing-masing. Harus mandiri secara finansial. Di titik ini gue agak bingung, karena gw menganggap diri gw sudah mandiri secara finansial sejak lulus kuliah 6 tahun silam. Melaksanakan tugas gw sebagai seorang anak yang mandiri untuk nggak lagi bergantung secara finansial kepada orang tua. Bahkan menurut gw dari kerja keras dan pendapatan gue selama ini, gw sudah bisa banyak menabung dan berinvestasi, belajar membuat bisnis sendiri, mewujudkan cita-cita gw keliling dunia dengan jerih payah sendiri dan mensupport orang tua walau nggak banyak. Tapi semua itu masih saja kurang, kalau gue belum jadi PNS. Dan mungkin pertanyaan seperti itu akan selalu muncul. Kapan ki lu tobat dan pulang Indo daftar CPNS?

Huh really?

Don't get me wrong, dulu gue pernah mencoba bekerja kantoran. Di Bank Jepang di daerah Sudirman. Hidup gue dikelilingi gedung pencakar langit, dokumen-dokumen nasabah untuk dikerjakan, weekend di mall, kemudian kembali bekerja lagi di senin yang padat sampai hari jumat. Walaupun belum sebeken PNS, tapi pekerjaan kantoran seperti di Bank adalah salah satu pekerjaan yang di accept masyarakat. Sudah di jalur yang benar kamu nak. Lulus dari UI, kerja di perusahaan besar di gedung tinggi di Jakarta. Orang tua tenang dan bangga di kampung.
Aku dan keanggunanku di Bank

Tapi sayangnya nggak ada yang nanya sama gue waktu itu "Are you happy ki?"
Sadly i was not happy, i dont even know what happy was. Gue hampir gila. Karena merasa ada yang salah dengan semuanya. Sampe akhirnya gue ketemu grapholog di sebuah learning fair.
"Mba kamu orangnya kreatif, ndak bisa kerja di tempat seperti bank yang kerjaanya berulang, ini saya lihat kamu sudah stress, saya takut kamu depressi"

Mungkin saja bukan masalah kerja kantorannya. Mungkin juga kalau gue melakukan pekerjaan kantoran yang sesuai dengan minat dan bakat, gue nggak akan merasa terlalu stuck seperti dulu. Selama kerja di Bank pun gue lebih suka iseng ngedit foto kolega untuk gw kirim ke satu department atau merencanakan department training keluar kota, memesan akomodasi dan tiket-tiket daripada harus mengurus dokumen nasabah. Gue selalu lebih tertarikm dengan pekerjaan yang membutuhkan ide yang fresh dan kreatifitas, seperti kata grapholog yang gue temui.

Beberapa hari kemudian gw resign dari Bank lalu pindah ke Bali. Cause the job just simply doesnt suit on me. The rytme, the lifestyle and the city life that makes it worst. Mungkin ini adalah pekerjaan dan tempat yang cocok bagi sebagian orang, tapi bukan untuk gw. Maybe cause i always knew that i was born for something else.

Aniwei gue selalu tahu gue membutuhkan sesuatu yang menantang, jadilah gue pindah ke Bali lalu dari Bali gue pindah lagi ke Australia. Terdengar nekat dan gila mungkin, tapi that was what i did. To keep me sane.

Segala pekerjaan pernah gue jalani, dari Marketing Manager di Bali buat perusahaan start up yang bikin gw ketemu orang-orang penting, merancang sendiri marketing plan gw yang juga gw eksekusi sendiri, jualan ikan di fish market di Sydney, bahkan sampai pernah menjadi petani di Queensland. Semua gue jalani dengan senang hati. Yes it was really fun. Especially because i have nothing to hide of who i am. And i'm proud of who i have became.

Tentu saja gw mencapai titik dimana gue tau kalo gue nggak boleh main-main terus seperti ini dan berpikir untuk settle down. Lalu gue memutuskan untuk stay di Australia dan belajar childcare untuk career kedepannya. I know it sounds absurd but it make sense for me. And so far it goes really well for me, financially, and emotionally. Better than ketika gw terikat pekerjaan di Indonesia. Gw bisa cuti kapan aja, berapa lama aja buat travelling yang duitnya pun cukup untuk melaksanakan misi berkelana gw, dan gw tetep masih punya waktu buat olahraga teratur dan masak makanan sehat dan bersosialisasi. Buat gue hidup di Sydney lebih masuk akal daripada Jakarta.

Aniwei Bapak lalu tanya lagi. "TKI lain pulang ke kampungnya sudah bangun rumah, kamu mana?"
Yes, my dad calls me TKI which is fine. Gue merasa nggak harus menjelaskan sebenernya berapa banyak tabungan atau investasi yang gue punya. Atau kenapa gue nggak bangun rumah di kampung kami, karena gw nggak merasa akan kembali ke kampung ini untuk menetap. Apakah kalo belum bangun rumah di kampung gue masih saja dianggap gagal?

Bapak merasa ragu dengan anaknya yang menurutnya bajunya itu-itu aja dan kopernya adalah koper yang dibawa tahun lalu. Artinya anaknya ini nggak kaya, nggak punya duit banyak. Karena tiap gue pulang ke kampung pasti gue mampir Bali dulu untuk main di pantai sampe kulit gosong, lalu pulang dengan shirt and the same faded jeans. Mungkin anakanya jadi mirip pemulung pas pulang.

Tapi honestly gue nggak pernah menghargai manusia dari warna kulit atau bajunya yang branded, tapi simply dari behaviornya. Dan apakah gue harus menjelaskan bahwa anak perempuan Bapak ini orangnya sungguh fungsional. If i dont need it, i dont buy it. Mau ganti hape aja gue musti nunggu hape kegiles mesin cuci baru pecicilan ke toko hape buat beli baru.

Sebagai manusia merdeka gue nggak merasa berhutang sama siapapun untuk menunjukan kalau gue capable atau sukses. Pandangan orang nggak pernah melukai harga diri gw. Mau orang anggep gue miskin juga terserah bodo amat. Gue nggak pernah butuh justifikasi dari orang kalau gue sukses, kalau gue bahagia.





I am living my best life now regardless of how it looks like on society's eyes.  And the answer is Yes even tho without a husband, even tho without my own home, and Yes even tho without me being PNS. And especially without society's approval. I am still fine.

Buat semua orang yang baca, kalau ada yang memilih jalan hidupnya sendiri yang dianggap aneh oleh orang lain kebanyakan. You are not crazy. (Unless you do something that hurt people, that is not okey).

Bahkan You can stop whenever you want, you can drop everything and start again and that still does not make you crazy. Mau jadi penulis, mau jadi tour guide, mau jadi tukang kopi, terserah, do what makes sense for you. And you don't owe any explanation to anyone. Be true to yourself.


I LOVE YOU




P.s: I still deeply respect my dad for his concern, but I just won't stop explaining to him that her daughter wants different things. And she always does



Comments

Popular posts from this blog

NEW YORK BEYBEH (Part 1)

Ngadepin orang yang banyak drama (Buang ke laut aja)

Buat Blog LAGI semasa Karantina